Wakil Menteri Dalam Negeri (Wamendagri) Bima Arya Sugiarto baru-baru ini menegaskan bahwa Peraturan Gubernur (Pergub) Jakarta Nomor 2 Tahun 2025 yang mengizinkan Aparatur Sipil Negara (ASN) untuk berpoligami bukanlah hal yang baru. Pernyataan ini disampaikan dalam konteks polemik yang muncul setelah diterbitkannya pergub tersebut, yang mengatur tata cara pemberian izin perkawinan dan perceraian bagi ASN di Jakarta.

Bima Arya menjelaskan bahwa aturan mengenai izin poligami bagi ASN telah merujuk pada peraturan perundang-undangan yang ada, termasuk Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 10 Tahun 1983 juncto PP Nomor 45 Tahun 1990. Ia menekankan bahwa meskipun ada beberapa penyesuaian dalam Pergub ini, inti dari aturan tersebut adalah untuk memperketat proses poligami, bukan untuk mempermudahnya.

Latar Belakang Penerbitan Pergub

Penerbitan Pergub ini dilatarbelakangi oleh tingginya angka perceraian di kalangan ASN di Jakarta. Pada tahun 2024, tercatat ada 116 laporan perceraian yang melibatkan ASN. Bima Arya menyatakan bahwa di balik angka perceraian tersebut terdapat berbagai dinamika dan masalah yang perlu diperhatikan, termasuk hak-hak mantan istri yang sering kali tidak diperhatikan. Oleh karena itu, Pergub ini bertujuan untuk memberikan perlindungan dan pembinaan kepada ASN agar tidak mudah bercerai.

“Di balik perceraian itu kan ada cerita, ada dinamika, ada yang mantan istrinya tidak diperhatikan hak-haknya dan sebagainya. Kita harus melindungi semuanya,” ujar Bima di Balai Kota Jakarta.

Proses Izin Poligami yang Ketat

Dalam Pergub Nomor 2 Tahun 2025, ASN pria yang ingin berpoligami diwajibkan untuk mendapatkan izin dari pejabat yang berwenang sebelum melangsungkan pernikahan. Jika seorang ASN melanggar aturan ini dan menikah tanpa izin, mereka akan dikenakan hukuman disiplin berat sesuai dengan peraturan yang berlaku. Bima menegaskan bahwa tujuan dari aturan ini adalah untuk memperketat proses poligami agar tidak sembarangan.

“Intinya untuk memperketat proses poligami agar tidak mudah, supaya enggak gampang kawin cerai,” tegasnya.

Tanggapan Masyarakat dan Organisasi

Penerbitan Pergub ini tidak lepas dari kritik berbagai pihak, termasuk organisasi hak asasi manusia seperti Amnesty International, yang menilai bahwa kebijakan ini diskriminatif terhadap perempuan. Mereka berpendapat bahwa kebijakan ini dapat memperburuk posisi perempuan dalam masyarakat dan berpotensi menimbulkan masalah baru dalam hubungan keluarga.

Bima Arya, dalam menjawab kritik tersebut, menekankan bahwa Pergub ini bukan hanya tentang poligami, tetapi juga tentang perlindungan terhadap keluarga ASN secara keseluruhan. Ia berharap agar masyarakat dapat memahami konteks dan tujuan dari penerbitan Pergub ini.

Dengan adanya Pergub Nomor 2 Tahun 2025, pemerintah DKI Jakarta berusaha untuk memberikan landasan hukum yang jelas bagi ASN yang ingin menikah atau bercerai, termasuk dalam hal poligami. Bima Arya menegaskan bahwa meskipun ada beberapa penyesuaian, inti dari aturan ini adalah untuk melindungi hak-hak keluarga ASN dan memperketat proses pernikahan dan perceraian. Dalam konteks ini, diharapkan bahwa kebijakan ini dapat memberikan dampak positif bagi masyarakat dan mengurangi angka perceraian di kalangan ASN di Jakarta.